Kita Adalah Indonesia…

Words by Mireza Fitriadi, XLFL Batch 1 Yogyakarta

Di bulan kemerdekaan ini kita diramaikan oleh berita mengenai kewarganegaraan. Entah sejak kapan isu mengenai status kewarganegaraan seseorang menjadi hal yang ramai dibicarakan, hingga menjadi topik utama hampir di semua berita nasional. Untuk sesaat semua orang tiba-tiba menjadi peduli dengan isu kebangsaan, padahal sebelumnya hal ini tidaklah begitu menjadi perhatian. Kalaupun ada, hal tersebut berkaitan dengan nasionalisme sesaat seperti ketika tim olahraga nasional kita bertanding di ajang internasional, atau saat wilayah sumber daya alam kita beririsan dengan negara tetangga, atau saat tenaga kerja kita di luar negeri sedang mengalami masalah hukum dengan majikannya.

Jika dilihat berdasarkan ketentuan hukum nasional, secara umum negara kita memang tidak menganut sistem kewarganegaraan ganda, kecuali untuk anak-anak, mereka diberikan pilihan untuk memilih status sebagai warga negara Indonesia ketika telah berumur 18 tahun. Akibatnya, jika seseorang memiliki status kewarganegaraan Indonesia, lalu ia juga memiliki dokumen yang menunjukkan bahwa ia merupakan warga negara lain (e.g. paspor), maka statusnya sebagai warga negara Indonesia hilang secara otomatis begitu ia memperoleh status sebagai warga negara lain.

Jika demikian, apakah artinya hal tersebut membatasi kontribusi kita pada Indonesia? Mestinya, berbuat baik pada Indonesia tidaklah dibatasi oleh hal administratif seperti status kewarganegaraan. Ia harusnya dilakukan dengan hal yang lebih mendasar: nasionalisme. Lalu pertanyaannya, seperti apakah seharusnya kita memandang nasionalisme kita?

Sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, Ir. Soekarno sudah pernah menulis bahwa Nasionalisme kita haruslah nasionalisme yang tidak untuk dibangga-banggakan kepada bangsa lain, akan tetapi timbul dari rasa cinta akan manusia dan kemanusiaan. Rasa nasionalisme itu dilaksanakan sebagai suatu amanah dan juga rasa itu dilaksanakan sebagai suatu bakti.

Dari pemikiran Ir. Soekarno tersebut dapat dipahami bahwa untuk berkontribusi kepada negara Indonesia, tidaklah memerlukan syarat administratif berupa kartu tanda penduduk terlebih dahulu, atau paspor atau telah menyelesaikan mata kuliah kewarganegaraan. Justru status seseorang terlihat dari seberapa besar kontribusi dan cintanya kepada Indonesia.

Kita punya sejarah bahwa dahulu Tan Malaka walaupun dalam pengasingan, namun telah memberikan banyak pemikiran terhadap revolusi agar Indonesia mencapai kemerdekaannya. Atau seperti mantan Presiden B.J. Habibie yang berkali-kali ditawarkan untuk menjadi warga negara Jerman, namun tetap setia memilih menjadi warga negara Indonesia. Atau seperti Archandra, orang baik dan jenius yang menjadi menteri tersingkat dalam sejarah Indonesia, dikarenakan status kewarganegaraannya. Bahkan yang paling muda, Gloria yang harus merelakan pengorbanannya untuk menjadi pasukan pengibar bendera pusaka, dikarenakan status kewarganegaraanya.

Karena nasionalisme merupakan rasa kemanusiaan dan cinta bakti, maka sudah seharusnya kita tidak perlu dipusingkan dengan urusan administratif yang menyebabkan kita kehilangan esensi dari nasionalisme itu sendiri. Justru orang-orang hebat seperti Habibie, Archandra, Gloria dan mungkin ratusan saudara kita lainnya di luar sana dirangkul, diayomi dan lalu bergerak bersama untuk berkontribusi kepada tanah air, karena mereka, anda, dan kita adalah Indonesia.

 

Twitter: @rezafitriadi

Instagram: rezapitopang

Facebook: Mireza Fitriadi