Memperjuangkan Lingkungan (di Masa Pandemi): Abe dengan World Cleanup Day Indonesia

Permasalahan sampah di Indonesia sudah tidak asing lagi terdengar dan menjadi isu lingkungan yang sangat membutuhkan penanganan yang serius dan berbeda. Hal ini dikarenakan dampaknya yang berlarut dan menimbulkan efek lainnya yang mengganggu berbagai sektor kehidupan, utamanya di kota-kota besar. Hal ini menggelitik seorang Andy Bahari—lebih sering disapa sebagai Abe—untuk mencari solusi dan memperpendek dampak yang ditimbulkan dari permasalahan sampah ini.

Tergerak oleh kepeduliannya dengan isu lingkungan—sebuah ketertarikan yang telah ada pada dirinya sejak kecil—mengantarkan Abe menjadi Koordinator Nasional untuk Public Relations dan Marketing di komunitas World Cleanup Day (WCD) Indonesia. Sebelum memulai karyanya di Indonesia, Abe menghabiskan tujuh tahun hidupnya di Amerika Serikat. Ketika Abe kembali ke tanah air tumbuh niat dalam diri Abe untuk melakukan sesuatu untuk bangsa ini. Melihat penyikapan Indonesia terhadap sampah yang masih jauh tertinggal dari negeri Paman Sam, Abe tidak ingin tinggal diam, bergerak mencari solusi. Sekembalinya di Medan, kota asalnya, Abe berkenalan dengan WCD Indonesia. Disinilah Abe mulai bergelut dengan isu lingkungan ini, penanganan sampah.

Sepak terjang WCD di Indonesia diawali dengan berdirinya Yayasan Let’s Do It (LDI) Indonesia pada tahun 2014 silam. LDI membawa misi untuk dapat menyebarkan pesan baik WCD ke dalam negeri, bersamaan dengan 180 negara lainnya di bawah naungan LDI World. Hingga pada tahun 2018, inisiasi nyata WCD di Indonesia pertama kali diadakan. Selama dua tahun berturut-turut—2018 dan 2019—Indonesia menoreh sejarah dengan menjadi negara pemimpin cleanup terbesar di dunia. Kini, WCD Indonesia menaungi jutaan relawan yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Di tim intinya, Abe bekerja dengan orang-orang yang beragam dengan nilai hidup yang sama. Salah satu tokoh yang menginspirasinya adalah ketua WCD Indonesia, Agustina Iskandar, yang leadership-nya sangat dia kagumi.

“Lucunya,” kata Abe, yang merupakan jebolan dari Rhode Island School of Design, “kebanyakan dari kita yang di WCD sekarang ini either punya pengalaman tinggal atau belajar di luar negeri.” Terbersit sebuah pertanyaan yang selalu ingin saya tanyakan terhadap lulusan luar negeri yang kembali ke Indonesia, “Mengapa kembali?” Satu jawaban di antara banyaknya jawaban itu adalah, “Sebenarnya bisa aja kok tetap tinggal di luar negeri, dibayar lebih tinggi. Tapi generasi muda seperti kita, energinya lebih tinggi untuk mengejar hal-hal yang di luar material. Kita maunya value. Kita gak berambisi punya rumah besar, mobil mewah, dan lainya. Bukan karena nggak mau, tapi mimpinya sudah berbeda. Kita pulang bukan untuk mencari pengakuan dari pemerintah, tapi untuk bersumbangsih balik ke Indonesia.”

Sumbangsih itu dapat terlihat dalam angka. Memiliki 4 juta lebih relawan aktif pada tahun ini, LDI Indonesia memiliki jumlah relawan terbanyak dibandingkan dengan negara lainnya yang tergabung dalam World Cleanup Day. Namun, bagi Abe, angka ini masih jauh dari cukup karena mengejar target 13 juta relawan, atau 5% dari total populasi Indonesia. “Ini sebenarnya masih di bawah target. Aku berusaha maklum, karena ini pandemi. Tapi aku sendiri orangnya sangat idealis dan masih terus berusaha keras untuk mencapai yang direncanakan,” jelasnya.

Menurutnya, dia sulit merasa puas dengan apa yang sudah dilakukan terhadap lingkungan ketika masalah sampah tersebut  masih banyak dan disiplin untuk tidak membuang sampah sembarangan belum menjadi budaya. “Apalagi kalau sudah memikirkan sampah microplastic, itu ada di mana-mana. Di ikan yang kita makan, di udara yang kita hirup, di air yang kita minum.” Ujarnya. “Namun kita tidak boleh berkecil hati, harus tetap bangkit. Harus tetap bisa menjadi trend setter. Harus melihat bagian-bagian yang  yang bisa kita ubah, yang bisa kita majukan,” lanjutnya. Abe juga melihat perubahan di banyak anak-anak muda Indonesia hari ini yang jauh mawas diri tentang sampah dari generasi sebelumnya. “Untuk isu lingkungan ini, kita akan baru bisa memetik manfaatnya mungkin 20, 30 tahun lagi. Jadi tidak bisa berhenti sekarang, kita harus membangun legacy.”

Di situasi pandemi ini, Abe terus berusaha untuk membangun kesadaran banyak anak muda secara daring. Pandemi tidak menyurutkan langkahnya untuk terus berkreatifitas mengatasi isu lingkungan ini. Menurut Abe, pandemi ini justru membuka pasar baru. Bahkan fokusnya bisa diperluas, tidak hanya pada sampah fisik, namun juga pada sampah yang tidak terlihat, seperti sampah digital. Alih-alih melakukan cleanup fisik di Hari Bumi, Abe beradaptasi dengan kegiatan digital cleanup. “Kalau kita masuk ke ranah lingkungan, kita bakal secara otomatis terekspos dengan isu-isu lainnya seperti sosial, politik, dan kesetaraan gender. Dengan terjun ke lingkungan, perspektif saya benar-benar terbuka tentang berbagai macam hal”, pungkasnya. Adanya pandemi, menurut Abe, juga menjadi salah satu kesempatan untuk menggaungkan kembali pentingnya pengolahan sampah dari rumah. “Karena di budaya kita, peran ibu rumah tangga ini penting, dan sedianya dapat menjadi tonggak bagi pengolahan sampah yang lebih baik paling pertama.”

Sepak terjang Abe dalam komunitas WCD ini dapat menjadi model bagaimana anak muda dapat memperjuangkan kebaikan negeri. Abe menunjukkan bahwa untuk mewujudkan masa depan yang lebih baik untuk Indonesia, hanya dibutuhkan satu perubahan perilaku sederhana yang dilakukan secara bersama—misalnya, dengan membuang sampah pada tempatnya. Quote yang selalu dia pegang dalam berkampanye adalah “better many people changing together imperfectly rather than 1 people changing perfectly”. Sebelum kita menunjuk jari siapa yang bertanggung jawab atas masalah ini, mungkin kita perlu bertanya ke diri kita, apa yang telah kita lakukan untuk Indonesia untuk menghadapi masalah ini jauh lebih baik? Dan sudahkah kita bertanggung jawab atas sampah kita sendiri dan memulai perubahan dari diri kita sendiri untuk sekitar kita yang lebih baik?

 

Ikuti sepak terjang Abe di @bahariandy dan @worldcleanupdayindonesia.

Artikel by: Nadhila Fajriani Putri