Wawancara Eksklusif Bersama Amanda Margareth
Amanda Margareth, Juara II Mahasiswa Berprestasi Nasional 2020 sekaligus pengarang 2 buku, yaitu “Enigma” & “Museum dan Kita”.
Yuk, langsung kita cari tahu bagaimana sih kehidupan sehari-hari Amanda sebagai seorang penulis?
Hi Amanda! Boleh jelaskan sedikit tentang diri kamu?
Halo semuanya! Kenalin aku Amanda Margareth, mahasiswi S1 Teknik Perkapalan Angkatan 2017 Universitas Diponegoro yang sekarang sedang menggeluti karir di dunia kepenulisan dan sudah menulis dua buku puisi di tahun 2018 dan 2019, satu berbahasa Inggris berjudul Enigma dan satu lagi Bahasa Indonesia berjudul Museum dan Kita.
Sejak kapan Amanda suka menulis? Selain itu, apakah ada aktivitas lain yang Amanda geluti?
Selain menulis, aku juga suka melukis, main musik, fotografi, dan filmmaking. Tapi aku benar-benar terdidik untuk selalu suka membaca dan menulis dari sekitar kelas tiga atau empat SD. Dari umur segitu, mama aku yang memang suka menulis akhirnya mengajarkan aku bagaimana caranya menulis suatu puisi yang baik dan benar. Mulai dari sana sampai aku bisa jadi tim redaksi di sekolah, menulis sekaligus jadi editor di majalah dan lainnya. Mungkin kalau ditanya sejak kapan suka menulis, jawabannya sudah dari kecil banget sih.
Biasanya genre favorit Amanda kalau menulis itu seperti apa?
Aku suka sekali dengan genre fiksi! Tapi most of the time sekarang aku sudah menumbuhkan kecintaanku terhadap penulisan essay tentang sosial politik. Jadi akhir-akhir ini aku biasanya bergelut diantara dua hal itu aja.
Apakah ada waktu tertentu yang membuat Amanda merasa lebih rajin atau lebih nyaman ketika menulis?
Biasanya saat lagi galau sih. Kalau misalnya aku sedang patah hati, pasti rasanya lancar sekali untuk menulis cerita, puisi, atau flash fiction. Jadi jauh lebih nyaman menulisnya untuk beberapa alasan. Kalau katanya Ditta Amelia kan dari patah hati harus bisa jadi royalti dan itu apa yang aku lakukan dalam buku-buku aku sebelumnya.
Boleh diceritakan tidak perjalanan Amanda dalam menulis sampai bukunya sudah publish?
Nah mungkin perjalanan aku tidak se-inspiratif itu karena aku tidak menyetor naskah berkali-kali sampai akhirnya bukunya diterbitkan. Jadi ceritanya aku dihubungi langsung sama editor publisher aku dari Bukune, mereka menghubungiku untuk menulis buku ketika aku lagi sering-seringnya posting tentang puisi-puisi Bahasa Inggris aku. Dari sana, setahun penuh kita garap buku pertamaku yang berjudul Enigma sampai akhirnya diterbitkan. Terus terkait buku kedua, itu ceritanya aku yang mencari dan mengajak editorku, “Ka ayo menulis buku kedua”.
Saat itu aku sudah banyak sekali mengumpulkan puisi-puisi Bahasa Indonesia karena aku jatuh cinta dengan karya-karya sastrawan Indonesia. Pertama kali aku baca puisi Bahasa Indonesia itu sebenarnya sudah lama sekali, yaitu karyanya Chairil Anwar, tapi diingatkan kembali sama Aan Mansyur. Aku baca bukunya Aan yang “Melihat Api Bekerja” dan dari sana aku langsung merasa bagus sekali bukunya sehingga aku kembali jatuh cinta dengan penulis-penulis puisi yang lain seperti Joko Pinurbo, almarhum Eyang Sapardi. Namun ada juga all time favorite aku, Avianti Armand, yang karyanya aku baca terus menerus, dan menginspirasi aku menulis lagi sampai bisa menerbitkan buku “Museum dan Kita” di tahun 2019. Perjalanannya sama seperti yang lalu; melalui proses editing beberapa kali, layouting, kemudian baru diterbitkan. Jadi demikian kurang lebih ceritanya, tidak ada yang sangat inspiratif sampai harus jatuh bangun. Mungkin jatuh bangunnya itu terletak pada kenyataan bahwa aku masih menggeluti dunia perkuliahan yang tiada hentinya dan di tahun 2018 itu aku bahkan masih ada proses kaderisasi yang merupakan istilah untuk sterilisasi siswa dan siswi yang masuk menjadi mahasiswa dan mahasiswi dalam suatu universitas, dan di Fakultas Teknik itu prosesnya tergolong intens. Jadi menurutku, tantangan terbesarnya adalah manajemen waktu. Tapi akhirnya aku bisa melewati itu dengan niat dan usaha yang tetap.
Amanda mahasiswa Fakultas Teknik kan ya, bagaimana Amanda menanggapi stigma yang menyatakan kalau mahasiswa Fakultas Teknik itu sulit memahami sastra, atau tidak nyambung kalau jadi penulis?
Sebenarnya menurut aku itu anggapan yang konservatif dan tidak sepenuhnya benar. Karena di jurusan aku pribadi dan banyak kenalan di sekitar aku yang jurusannya teknik, mereka itu malah sangat gemar kesusastraan dan mereka benar-benar menghargai literasi serta bisa memahami seberapa pentingnya kita sebagai seorang mahasiswa dan mahasiswi untuk memahami hal itu di umur kita sekarang. Jadi kalau misalnya ada stigma seperti itu, menurutku hal itu bukanlah suatu hal yang bisa aku kontrol, dan yang bisa aku kontrol adalah membuktikan kepada mereka bahwa sebenarnya anggapan itu tidak benar. Bagiku itu bukanlah suatu urgensi, kalau misalnya mahasiswa teknik dianggap tidak nyambung kalau jadi penulis ya terus kenapa? Kalau mereka memang bisa menghidupi diri mereka dari sana bahkan sampai dalam tahap mereka bahagia melakukan hal itu ya that’s a good thing right? Tidak ada kerugian sama sekali untuk melakukan hal itu. Jadi stigma tersebut bukanlah suatu hal yang harus dipermasalahkan. But other than that, I think hate speech dan segala macam yang berkaitan tentang itu adalah hal yang memang bukan dalam kontrol kita dan tidak harus kita pikirkan secara mendalam sampai akhirnya mengganggu ketenangan kita sendiri. Because everything or anything that costs your peace is way too expensive!
Di tengah segala kesibukan Amanda, apa yang memotivasi Amanda untuk tetap konsisten menulis?
Passion aku sih, aku tidak ada motivasi pasti harus atau ingin jadi apa seperti pada umumnya. Jadi motivasiku sebenarnya kecil, aku tidak ingin kemampuanku menulis itu kandas. Dengan segala kesibukan aku yang non-stop, aku tidak ingin kehilangan salah satu passion yang menurut aku sangat menghasilkan, tidak hanya secara material tapi juga dari sisi emosional menulis sangat mendukung aku. Makanya aku tetap konsisten menulis dalam segala situasi.
Apakah ada tips bagi para pembaca yang suka menulis tapi tidak tahu harus memulai darimana?
Menurutku ya mulai aja dulu. Yang pertama adalah mulai dari diri kamu sendiri dan yang kedua adalah cari komunitas. Kedua hal tersebut sangat membantu, karena dulu aku juga melakukan hal yang sama, mulai dari mencari teman sampai bergabung dalam komunitas yang benar-benar organisasi untuk penulisan. Menurutku, itu akan mendorong kita untuk bisa jadi lebih aktif dan interaktif dalam menunjang apa yang kita lakukan. Jangan takut untuk memulai teman-teman, karena kalau misalnya kalian tidak memulai, maka kesempatan itu akan lewat dan tidak akan menjadi suatu hal yang berbuah, sehingga justru akan menjadi suatu hal yang kalian sesali selama sisa hidup kalian. Jadi, take all the chances that you have, berani ambil resiko. Jika pun nantinya mengalami kegagalan gagal di awal, ya tidak masalah karena kegagalan adalah pembelajaran dari sebuah kehidupan yang ada di depan dan itu adalah bagian dari prosesnya.
Harapan Amanda kedepannya yang sangat ingin untuk direalisasikan?
Bagi teman-teman yang belum tahu, saat ini aku sedang mengembangkan suatu platform untuk kesehatan mental yang bernama @talknow.id di Instagram. Nah, aku sangat ingin kedepannya bisa merealisasikan platform tersebut agar menjangkau orang lebih banyak dan akhirnya bisa sampai ke pelosok-pelosok yang memang membutuhkan informasi tentang kesehatan mental. Mungkin untuk sekarang ini aku akan terus fokus dalam hal itu dulu, dan pastinya ingin segera lulus kuliah, semoga bisa lulus di semester depan.
Di setiap bulan Oktober, kita memperingatinya sebagai bulan Bahasa dan Sastra, apa makna “bahasa dan sastra” bagi Amanda? Seberapa penting peranannya dalam diri Amanda?
Dari dulu aku membahasakan bahwa bahasa dan sastra itu adalah jiwa dan arahku. Karena pada hakikatnya, jika kita tidak bisa memahami bahasa dan sastra terlebih di jaman sekarang di mana interpretasi informasi itu sudah beragam dan sangat bias, kita nantinya akan mengorbankan kualitas kita sebagai seorang individu, termasuk mengorbankan self-development kita yang sebenarnya bisa didorong jauh lebih tinggi. Di sisi lain, makna bahasa dan sastra itu sebenarnya bisa ditinjau dari banyak aspek yang salah satunya adalah tentang intelektualitas kita sebagai seorang manusia. Kalau misalnya kita bisa menghargai suatu kesusastraan dan bisa belajar memahami bahasa dan sastra yang ada, hasilnya nanti malah akan menunjang intelektualitas kita menjadi lebih kritis.
Hal itu menjadi sangat penting dalam diri aku sendiri, dan aku selalu mendorong teman-teman di setiap event yang aku kunjungi agar menumbuhkan rasa menghargai literasi di dalam diri mereka. Sehingga nanti tidak ada rasa penyesalan. Kalian tidak harus baca buku tujuh jam perhari untuk jadi manusia yang cerdas, konsepnya tidak seperti itu. Tapi kalian setidaknya harus punya kesadaran bahwa pada dasarnya hal itu penting untuk dipelajari dan dipahami. Dari yang paling dasar saja dahulu, tidak perlu sampai terlalu advance dengan harus menargetkan baca berapa buku dalam sebulan. Tapi setidaknya kita tahu caranya baca berita supaya tidak tergiring berbagai opini dan memiliki kesadaran untuk tidak percaya hanya pada satu sumber saja saat membaca sesuatu. Itu menurut aku adalah sebuah cabang lain dari bahasa dan sastra, yaitu cara kita menginterpretasikannya sehingga bisa membuat kita berpikir secara kritis.
Pesan Amanda bagi semua pembaca di Bulan Bahasa dan Sastra ini?
Jangan takut untuk memulai apapun yang ingin kalian mulai dan jangan takut untuk mencoba hal baru karena semua hal yang indah bisa ditemukan pada jalan yang tidak selamanya lurus-lurus saja. I think that’s all, thank you!
Ditulis oleh Raudhatul Jannah – XL Future Leaders Batch 7