Beyond Expectation
Words by Khalida – FL 001
Bagi saya guru adalah profesi yang membosankan, tidak menantang, dan tidak prestis. Namun, takdir Tuhan berkata lain, disinilah saya sekarang menjalani profesi yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya, menjadi seorang guru SD di sebuah desa di Provinsi Lampung. Dua bulan sudah saya mengabdikan diri untuk pendidikan lewat program Tulang Bawang Barat Cerdas (TBBC). Program ini mengadaptasi Gerakan Indonesia Mengajar yang sudah lebih dulu mengirimkan para pengajar muda untuk mengabdikan diri di pedalaman Lampung selama 5 periode sejak tahun 2010. Sayangnya, keberadaan Indonesia Mengajar hanya sampai tahun 2015. Oleh karena itu, Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang Barat berinisiatif membuat program serupa sebagai keberlanjutan peningkatan pendidikan.
Sama halnya dengan XL Future Leaders, keikutsertaan saya dalam program Tubaba Cerdas ini menjadikan saya masuk dalam angkatan pertama dan selayaknya angkatan pertama saya dan 11 teman saya menjadi role model serta tolak ukur tonggak keberhasilan dan keberlanjutan sebuah program. Tidak hanya menjadi pengajar di Sekolah Dasar, kami juga dituntut untuk menggerakkan masyarakat di desa tempat kami tinggal.
Tidak semua dari kami ber-12 memiliki background pendidikan keguruan dan pengalaman mengajar. Untuk itu sebelum dikirim ke daerah penempatan, kami terlebih dahulu mendapatkan pembinaan selama kurang lebih 6 minggu. Dalam pembinaan ini kami mendapatkan berbagai materi, mulai dari psikologi anak, kurikulum pendidikan, metode kreatif, birokrasi pemerintahan, hingga pelatihan fisik dan mental yang dilaksanakan di Pangkalan TNI AU Lanud Astra Ksetra, Tulang Bawang, provinsi Lampung.
Akhir Desember 2015 kami ber-12 dikirimkan ke daerah penempatan masing-masing. Awal masa adaptasi dilalui dengan cukup berat karena kami ditempatkan sendiri di sebuah kampung tua yang penduduknya 100% adalah warga lokal dan suku yang homogen. Saya ditempatkan di Tiyuh Karta, Kecamatan Tulang Bawang Udik. Tiyuh berarti desa dalam bahasa Lampung. Kedatangan saya disambut dengan cukup antusias oleh warga, apalagi oleh kedua orang tua angkat saya yang merasa bahagia mendapat anggota keluarga baru.
4 Januari 2016 adalah hari pertama saya mengajar di SDN 1 Karta. Saya masih ingat dengan jelas hari itu saya tidak banyak bicara karena cukup terkesima dengan tempat kerja baru saya. Sebuah sekolah yang cukup minim fasilitas dan jumlah murid. Tidak ada perpustakaan, bel sekolah, dan ruang UKS. Halaman sekolah terbentang luas tanpa ada pagar yang membatasi dengan ladang dan kebun karet di sekitarnya. Murid saya jika dihitung secara keseluruhan dari kelas 1 sampai kelas 6 hanya berjumlah 60 anak. Waupun sedikit tapi keberadaan anak-anak ini cukup membuat saya kewalahan ketika mengajar. Layaknya anak–anak kutu yang gemar meloncat kesana kemari, seperti itulah kelakuan murid saya di kelas. Mereka selalu bersemangat ketika melihat saya datang, apalagi kalau sudah melakukan kegiatan outdoor seperti latihan Pramuka. Maklum saja, keberadaan kegiatan ekstrakurikuler telah lama vakum di sekolah ini. Keterbatasan ekonomi tidak menjadikan murid-murid saya mengalami keterbatasan kreativitas.
Pengalaman yang saya dapatkan selama melakukan kegiatan di XL Future Leaders membuat saya tak pernah kehabisan akal untuk memacu anak didik saya mengeksplor lingkungan dan memanfaatkan barang bekas yang ada. Seperti pada latihan Pramuka minggu lalu, anak-anak memanfaatkan botol minum bekas sebagai media untuk membuat tanaman hidroponik. Layaknya Deedee yang selalu memfasilitasi ide-ide kami selama workshop, begitulah saya berusaha memfasilitasi murid–murid saya untuk mengembangkan potensi yang ada dalam diri mereka karena saya percaya setiap anak terlahir sebagai bintang dan mereka berhak menjadi juara di bidangnya masing–masing.
Pembelajaran yang saya berikan pun tidak melulu dilakukan di kelas. Kadang saya menyelipkan materi mengenai makhluk hidup kepada anak-anak saat mereka asyik berenang di sungai atau materi ketertiban lalu lintas ketika jalan – jalan sore keliling kampung. Profesor Yohanes Surya pernah berkata bahwa tidak ada anak yang bodoh, yang ada hanyalah anak yang tidak mendapat kesempatan belajar dari guru yang baik dan metode yang baik. Oleh karena itu, saya berusaha mencari metode pembelajaran yang kreatif dan sesuai dengan kesenangan anak.
Dua purnama sudah saya lewatkan dengan panggilan baru, “Ibu Guruâ€. Panggilan yang tidak pernah terpikirkan dalam hidup saya sebelumnya. Panggilan yang telah mengubah pemikiran saya selama ini tentang sosok seorang guru. Bahwa ternyata menjadi guru bukan hanya sekadar mengajar dan mentransfer ilmu, melainkan ada sebuah kewajiban mulia dibaliknya yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 yang selalu dibacakan setiap upacara bendera. Layaknya kompas, keberadaan seorang guru diharapkan dapat menjadi penunjuk arah masa depan seorang anak dan mendidik adalah tugas semua orang terdidik.