Budaya, Beasiswa, dan Budidaya

Jadi kangen sama suasana jajanan kaki lima. Tentunya berada di sini, bikin aku kangen keluarga, makanan, kenyamanan, kadang kangen juga dengerin suara adzan, apalagi nongkrong bareng sama teman – teman di Indonesia.

Rindu itu berat, dan suasana jajanan kaki lima setelah keluarga adalah hal-hal yang paling membuat rinduku dengan Indonesia begitu banyak.

Harlino Nandha Prayudha atau yang kerap dipanggil Harlino, sekarang menempuh pendidikan di negeri kincir angin, tepatnya di kota Wageningen. Berada di negeri orang dengan banyak hal yang berbeda terkadang membuatnya kangen kampung halaman, khususnya dengan hiruk pikuk dan kenyamanan berada di lingkungan yang begitu akrab. “Kalau di sini, sejauh ini belum nemu rumah yang tiba – tiba bisa jadi toko atau warung, kalau belanja harus ke city central atau centrum namanya. Kalau di Indonesia kita mau cari apa, tinggal keluar rumah sedikit udah bisa langsung ketemu, jadi cukup membuat sedikit bekerja keras kalau mau mencari makanan.”

Terlepas dari semua proses yang dilalui untuk menyesuaikan diri untuk mengejar mimpi, menjadi master di bidang plant breeding, banyak inisiatif yang masih Harlino lakukan. Ini dilakukan agar Harlino dapat membangun lebih baik, komunitas anak muda di Indonesia, salah satunya melalui Agrituner Initiative yang Ia dirikan bersama dengan teman – temannya.

Dalam pembicaraan singkat kami di hari Sabtu siang lalu, Harlino menceritakan pengalamannya dalam hal budaya dan budidaya tanaman.

Dari Bandung menuju Eropa

Anak muda kelahiran Surabaya yang lama menetap di Bandung ini menekuni ilmu agrikultur khususnya agroteknologi selama empat tahun di perguruan tinggi Universitas Padjadjaran. Dalam perjalanannya, penghargaan mawapres dan berbagai beasiswa telah Harlino raih, salah satunya adalah beasiswa dari Global South Scholarship 2017 berafiliasi dengan YOUNGO (Youth Constituency fo UNFCCC) UNFCCC pada tahun 2017 sebagai observer. Pada tahun 2017, Harlino mendirikan Agrituner Initiative, sebuah organisasi yang bertujuan untuk membangun kesadaran generasi muda pada perubahan iklim, khususnya dalam isu yang menyangkut kepada agrikultur. Proyek pribadi inilah yang juga kemudian berhasil menerbangkan Harlino ke Jerman sebagai perwakilan di ACE Youth Forum 2018, dimana Harlino terpilih sebagai salah satu dari 40 orang yang berhasil terpilih dari 3300 pendaftar, yang tersebar di lebih dari 130 negara.

Saat ini Harlino sedang meneruskan pendidikannya di Wageningen University & Research di Belanda dengan jurusan Msc Plant Sciences, dengan spesialisasi di bidang plant breeding and genetics.

Meraih Beasiswa dan Perjalanannya

Untuk sampai pada kesempatan mengecap bangku pendidikan di luar negeri, perjalanan yang harus dilalui oleh Harlino tentu tidak semudah yang dibayangkan. Namun dalam prosesnya, banyak Ia rasakan keterlibatan XLFL di dalamnya. Dalam perbincangan kami hari itu, Harlino menceritakan sedikit banyak mengenai prosesnya.

“Aku inget dulu satu tahun sebelum lulus dari XLFL, aku mulai nyusun IDP untuk ambil master ini. Nyusunnya dibantu sama Deedee, mentor langsung aku di XLFL. Aku ngalamin kerasnya mengerjakan ini. Beberapa kali harus revisi, sampai akhirnya di bulan Januari mulai difinalisasi, pitch ke Deedee dan akhirnya di-acc sama Deedee. Aku tuliskan semua detailnya mulai dari aku nyiapin IELTS, kapan menyelesaikan skripsi, semuanya. Akhirnya aku benar-benar dapatkan apa yang aku tulis di IDP, lulus di bulan Agustus, di bulan itu juga daftar LPDP karena semuanya dekat dengan tanggal penutupan, hasil IELTS juga keluarnya di bulan itu.”

Dalam proses seleksi LPDP, khususnya pada tahapan pembuatan motivation letter dan juga interview, Harlino banyak mengkonsultasikannya kepada mentornya saat itu.

“Bayangin saja waktu itu, kalau di LPDP itu yang menginterview itu interviewer dan asesor yang sudah diseleksi juga, jadi kebayang kan beratnya layer yang harus dilewati”.

Selain motivasinya, banyak pertanyaan terkait dengan keilmuan dan kebangsaan yang ditanyakan. Salah satu pertanyaan yang menurut Harlino menjadi penentu adalah mengenai budaya yang mungkin akan dihadapi saat tiba di Belanda. Harlino juga berpesan, “Milikilah tujuan yang jelas saat kamu akan mendaftar S2, jangan karena gak ada kerjaan, akhirnya memaksakan diri berangkat untuk kuliah lagi. Saat kita tahu “alasannya”, maka gelar yang akan kamu dapat tidak akan jadi tujuan akhirnya. Kalau sudah punya tujuan yang jelas, maka waktu kembali ke Indonesia, kamu akan tahu mau melakukan apa”.

Lantas sebenarnya nilai apa sih yang dimiliki oleh Harlino untuk tetap berpegang teguh pada pendiriannya? “Aku berusaha untuk tetap ada dalam koridor prinsip dan nilai yang aku punya, dan di saat yang bersamaan juga tetap menghargai nilai yang dimiliki orang lain, dan mengedepankan toleransi”. Dari jawaban Harlino tersebut sebenarnya kita bisa tahu bahwa salah satu kunci untuk bisa beradaptasi dalam sebuah budaya baru yang mungkin tidak sama dengan apa yang kita miliki hari ini adalah untuk memiliki kemampuan untuk memahami batasan dan punya sikap toleransi yang tepat. “Karena toleransi kayaknya salah satu sikap yang dibutuhkan untuk bisa jadi global citizen juga gak sih?” saya bertanya. “Benar sekali!” jawabnya.

Perjalanan di Belanda

Meski baru dua bulan berada disana, banyak hal yang Harlino rasa berbeda, khususnya dalam hal budaya tertib. “Disini, karena Covid-19 ini, kalau misalnya kita mau pakai meja, kita harus pesan dulu untuk waktu tertentu, jadi nanti akan ada catatannya; siapa, jam berapa, ketika ke kampus buat belajar”. Harlino juga bercerita bahwa berkuliah di sana akan terasa lebih “dimanjakan” dengan portal e-learning yang sangat lengkap, dimana semua kelas dapat diakses dengan mudah kapanpun, bahkan pada saat kita tertinggal materi sekalipun. Namun secara materi, nyaris semua yang harus dipelajari lebih maju dan harus bisa dikejar sendiri. Itulah sebabnya disiplin dan kemampuan untuk menata waktu menjadi sangat penting untuk dimiliki.

Mungkin kita juga seringkali mendengar bagaimana budaya dari barat jauh lebih individualistis. Hal tersebut dibenarkan oleh Harlino, namun disaat yang bersamaan juga dikoreksi. Individualistis disini menurut Harlino bukan individualistis yang menjatuhkan. “Gak kepo dan gak heboh dengan pergunjingan tetangga” katanya. Harlino justru menceritakan bagaimana teman – temannya di sana adalah orang – orang yang juga sangat hebat dalam hal bekerjasama dalam tim. “Individualistis itu bisa membuat mereka unggul di banyak hal sendiri. Tapi kalau sudah kerja kelompok, mereka tidak pernah ragu untuk bantu kita dengan cara mereka sendiri. Seperti partner lab aku, misal pemahamanku atas sebuah konsep itu salah, dia tidak akan menjatuhkan dengan bilang, “harusnya tuh gak gitu”, tapi dia akan menggunakan, “in addition, moreover, furthermore” untuk membuat suasana diskusi menjadi lebih hidup dan nyaman”.

Budaya tertib dan disiplin yang ada juga berhasil membuat Belanda atau negara lain di Eropa mengedepankan kesehatan mental. “Buat mereka team assignment itu mentok dikerjakan sampai jam enam sore, selebihnya semua orang perlu punya waktu masing – masing untuk olahraga misalnya, atau hang-out. Kalau aku ikut handball di kampus” jelas Harlino yang kerap kali menaiki kereta NS untuk mengelilingi kota – kota di Belanda pada akhir pekan. Harlino juga menceritakan pengalamannya mendatangi salah satu tempat wisata terbersih di Belanda, yakni Hithorn (Giethoorn), sebuah desa dengan kanal dan perahu sebagai moda transportasinya. “Dulu tempat ini lahan gambut, tapi terus diisi air, jadi bisa ada kanalnya dan bersih banget, dan dijadikan kawasan wisata. Kadang gak kepikiran bisa sekreatif itu orang disini”.

Meski dalam waktu yang singkat, banyak budaya baru yang didapatkan oleh Harlino bersekolah di luar negeri. Mulai dari kedisiplinan dan ketertiban, hingga pentingnya menjaga kesehatan mental. Meski dirasa berbeda dengan pengalamannya di Indonesia, Harlino optimis bahwa semangat kerja keras yang dimiliki oleh mahasiswa – mahasiswa di Indonesia akan dapat dengan mudah diterapkan pada saat menempuh studi di luar negeri.

Agrituner Initiative

Salah satu pengalaman Harlino yang berhasil membawanya kepada perjalanannya hari ini di Belanda adalah organisasi yang Ia dirikan bernama Agrituner Initiative. Agrituner Initiative merupakan sebuah organisasi yang didirikan di Bandung pada tahun 2017, dengan tujuan untuk memberikan pendidikan mendasar di bidang pertanian bagi generasi muda. “Siapa tahu kan ada Greta Thunberg – Greta Thunberg-nya Indonesia!” sahutnya ketika ditanyakan alasan dibalik didirikannya Agrituner Initiative ini. Menurut Harlino, Indonesia merupakan negara agrikultur yang kaya. Tidak dapat dipungkiri juga bahwa banyak tanaman dapat dengan mudah tumbuh di tanah kita. Namun, perlu lebih banyak lagi orang yang mau dan mengetahui mengenai penerapan ilmu pertanian dengan lebih baik, untuk kemudian tahu bagaimana praktek mengelola lahan, bercocok tanam, dan mengolah hasil pertanian menjadi hasil pangan. Itu lah sebabnya Agrituner Initiative memiliki komitmen untuk berinvestasi pada pendidikan dan sumber daya manusia, untuk mendukung infrastruktur yang sudah mulai ada.

“Sekarang masih ada project yang jalan juga, kita mengajar di salah satu panti asuhan mengenai urban farming / pertanian di perkotaan. Waktu itu bergerak dari permasalahan bahwa banyak anak yang setelah nanti mereka keluar dari panti, mereka belum tahu mau berkarir di bidang apa. Akhirnya kita bekali deh mereka dengan pengetahuan di bidang pertanian, biar nanti bisa mandiri dengan kemampuannya sendiri” jelas Harlino. Eratnya kaitan antara agrikultur dan sustainability atau keberlangsungan juga menjadi landasan pentingnya mengajarkan ilmu pertanian kepada generasi muda. Namun secara budaya dan kebiasaan, mungkin kita sebagai masyarakat Indonesia belum banyak menjalankan hal – hal kecil yang dapat berdampak pada keberlangsungan lingkungan hidup.

Harlino sempat berbagi bahwa di Belanda, ekonomi sirkular sangat berjalan. Masyarakat pun tidak gengsi saat harus membeli barang lungsuran (secondhand). Selain itu semua produk buah – buahan, sayuran, dan susu diproduksi secara lokal dan diusahakan tidak menjadi limbah. Praktek produksi lokal tersebut lah yang juga akhirnya mendukung keberlangsungan lingkungan hidup, khususnya di daerah Wageningen. Harlino berpesan, bahwa untuk memulai sebuah budaya yang baru, khususnya menyangkut lingkungan hidup diperlukan komitmen untuk memulai dan menjalaninya. Mulai dari membawa botol minum sendiri, membawa bekal sendiri saat bepergian, membeli bahan makanan sesuai dengan kebutuhan, serta belajar untuk membuat kompos dari limbah organik yang kita miliki.

Dari pengalaman Harlino kita bisa melihat bagaimana budaya tertib, disiplin, dan ketekunan sebenarnya tidak hanya berdampak pada diri kita sendiri, tetapi bisa membawa kita menjadi dampak bagi orang lain, bahkan lingkungan tempat kita tinggal.

Ditulis oleh Veda Renata – XL Future Leaders Batch 7