Aku, Bahasa, dan Menjadi Duta Bahasa

Haris Hendrik, Terbaik II Duta Bahasa Yogyakarta & Sumatera Barat

Sheila Firda, Duta Bahasa DKI Jakarta

“Ini akan terdengar sedikit klise, tapi isu bahasa di Indonesia itu menjadi suatu hal yang rumit. Banyak anak muda Indonesia itu punya kecenderungan untuk menjadi seorang xenomania, kesukaan berlebih terhadap sesuatu yang berasal dari asing. Padahal bahasa kita itu sudah sangat kaya, Indonesia adalah negara kedua dengan kekayaan bahasa daerah di dunia sebanyak 668 bahasa.  Artinya, yang harus kita lestarikan itu tidak hanya Bahasa Indonesia, tetapi juga bahasa daerah kita.”

Ungkap Sheila dan Haris ketika saya wawancara mengenai bahasa dan bulan bahasa yang jatuh pada bulan Oktober di tiap tahunnya. Selama proses wawancara ini berlangsung, satu hal yang dapat saya simpulkan adalah Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang kaya dengan pengaruh dari budaya daerah & perkembangan zaman.

 

Haris Hendrik dan Sheila Firda mengikuti Duta Bahasa

Haris & Sheila sendiri bukan berasal dari latar belakang pendidikan bahasa atau sastra, Haris merupakan mahasiswa kehutanan di Universitas Gajah Mada dan Sheila adalah mahasiswa manajemen di Universitas Indonesia. Namun, mereka berdua sejak dulu tertarik dalam menggunakan Bahasa Indonesia & Daerahnya. Hal inilah yang membuat mereka mendaftarkan diri mengikuti pemilihan Duta Bahasa Provinsi.

Sesuai namanya, Duta Bahasa adalah identitas yang diberikan kepada pemuda terpilih yang dinobatkan secara formal oleh lembaga bahasa yang ada di Indonesia. Predikat ini dapat diberikan dalam skala provinsi (kompetisi di masing-masing provinsi) dan nasional (kompetisi dari seluruh provinsi di Indonesia). Haris mengikuti pemilihan ini sebanyak dua kali di Yogyakarta (2019) dan Sumatera Barat (2020), sedangkan Sheila hanya mengikuti pemilihan sekali di DKI Jakarta (2020).

Ketika saya tanya, apa hal yang paling berkesan dengan menjadi seorang Duta Bahasa dari keseluruhan proses pemilihan, jawaban yang saya dapatkan cukup menarik.

“Proses seleksi di setiap provinsi itu berbeda-beda sih, tapi satu hal yang sangat berkesan, kita diminta untuk mengikuti tes UKBI yang merupakan bentuk tes TOEFL untuk Bahasa Indonesia. Selain itu, kami juga diminta untuk membuat krida tentang advokasi bahasa yang dibagi menjadi proses penerjemahan, penggunaan Bahasa Indonesia, dan konservasi bahasa daerah yang akan punah. Tapi, tau gak apa yang sangat berkesan? Mengetahui seberapa pentingnya mengikuti perkembangan bahasa karena bahasa itu selalu berkembang setiap harinya.”

Perkembangan bahasa setiap harinya, lalu, menginspirasi Haris dan Sheila untuk membangun krida mengenai proses pendidikan dan literasi di Indonesia. Haris menciptakan suatu inisiatif dengan Lensa Pendidikan Indonesia yang telah tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Sedangkan Sheila berhasil membuat suatu laman daring yang berguna untuk mengetahui buku-buku Indonesia  yang telah diterjemahkan ke banyak bahasa asing untuk mempermudah akses para penerjemah di Indonesia.

Tidak hanya itu, Sheila juga mengungkapkan bahwa ada suatu tanggung jawab besar yang juga diemban oleh Balai Bahasa, yaitu melakukan kontrol terhadap bahasa-bahasa publik yang ada di Indonesia. Pernah mendengar istilah new normal di media pada awal Juli 2020 yang sekarang sudah sering digunakan menjadi “normal/kelaziman baru”? Betul, hal tersebut adalah contoh kecil mengenai tanggung jawab besar yang harus diemban oleh Balai Bahasa, mengganti frasa asing menjadi Bahasa Indonesia. Namun, tanggung jawab ini tidak seharusnya hanya menjadi tanggung jawab Balai Bahasa karena Bahasa Indonesia adalah bahasa kita sesuai dengan salah satu isi pada agenda Sumpah Pemuda, “Kami Putra dan Putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”

 

Haris, Sheila, dan Isu Bahasa

Tentang sumpah pemuda, saya menanyakan dua pertanyaan kepada Haris dan Sheila, isu terbesar apa yang saat ini ada di bahasa kita dan opini mereka terhadap fenomena bertumbuhnya bahasa gaul di era modern ini. Menurut Sheila dan Haris, fenomena terbesar yang saat ini muncul dalam konteks bahasa adalah xenomania yang berdampak pada kurangnya penggunaan Bahasa Indonesia pada kehidupan sehari-hari. Bahkan, muncul suatu fenomena pada kalangan pemuda yang mengatakan bahwa beropini menggunakan bahasa asing adalah tindakan yang lebih keren. Lalu, bagaimana Haris dan Sheila mengadvokasikan kasus ini kepada khalayak luas?

“Coba kita analogi ke Korea Selatan deh, mereka bisa besar dan terkenal karena semua aspek kehidupan mereka seperti makanan, lagu, hingga drama menggunakan Bahasa Korea yang artinya mereka ‘memaksa’ penduduk mereka untuk selalu menggunakan bahasa ibunya dan ‘memaksa’ penonton luar negeri untuk mengerti Bahasa Korea secara lebih dalam. Bukan mencoba sebisa mungkin untuk mengganti label yang sudah ada dengan Bahasa Inggris.” Ungkap Sheila mengenai langkah yang seharusnya mulai dilakukan untuk menjaga bahasa kita.

Haris menambahkan suatu konteks yang lebih dalam, “Ada loh kasus di mana suatu daerah itu punya dua bahasa daerah utama yang dulu dipakai secara rutin keduanya, lalu sekarang yang sering digunakan cuma satu. Jadi, bahasa yang lainnya sudah mulai ‘punah’ secara perlahan. Nah, ini yang bahaya.”

Kedua narasi ini mendukung motivasi Haris dan Sheila dalam membangun inisiatif mereka sebelumnya, Lensa Pendidikan Indonesia dan laman daring yang membantu pengetahuan mengenai buku dan literatur yang sebelumnya pernah diterjemahkan ke bahasa asing. Haris akan terus mendukung proses berbahasa dengan Lensa Pendidikan yang saat ini sudah hadir di 22 kota di Indonesia dan Sheila akan terus memperbaharui laman daringnya dan merambah ke media lain seperti siniar atau podcast.

Menariknya, Haris dan Sheila merasa bahwa kehadiran bahasa gaul sangatlah membantu Bahasa Indonesia untuk menjadi lebih kaya dan berkembang. Ingat kata “lebay” yang dulu hanya menjadi ungkapan anak muda untuk merujuk ke suatu hal yang berlebihan? Sekarang kata tersebut sudah masuk ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Ini merupakan contoh kecil ketika suatu bahasa gaul bisa mengubah struktur bahasa dan budaya yang ada di Indonesia. Saya setuju dengan Haris dan Sheila, menurut saya langkah terkecil untuk membantu menyelamatkan Bahasa Indonesia adalah dengan mengetahui sifat dari target kita. Apabila kita menargetkan generasi muda untuk terus menggunakan Bahasa Indonesia, akan sangat penting bagi kita untuk juga menggunakan bahasa yang mereka gunakan (bahasa gaul) karena menurut Haris dan Sheila, bahasa yang baik adalah bahasa yang tepat penggunaannya sesuai kebutuhan & konteks

 

Bagaimana XLFL Membantu Haris dan Sheila?

“Rasanya beda banget ketika pernah belajar effective communication dan managing change di XLFL, ketika dihadapkan dengan situasi baru dan sangat penting untuk diselesaikan, managing change bisa dipakai. Kalau effective communication dari mulai rapat hingga final sih selalu berguna.”

Malam final menuntut Haris dan Sheila untuk berlaga seperti finalis kontes kecantikan dengan menjawab pertanyaan secara singkat yang mana mereka berdua sangat jarang dihadapkan dengan kondisi seperti ini. Hal yang pertama membantu mereka adalah effective communication karena nilai ini yang membantu mereka menjadi menjawab pertanyaan secara lebih terstruktur dan tepat. Sedangkan managing change membantu mereka untuk tetap tenang ketika dibebani pertanyaan yang sebelumnya belum pernah mereka pelajari sebelumnya.

 

Pesan untuk Pembaca

Pada bulan bahasa ini, Haris dan Sheila memberikan beberapa pesan bagi para pembaca untuk melestarikan bahasa ibu kita. “Kita harus mulai membiasakan penggunaan Bahasa Indonesia. Dalam artian membiasakan itu kita tahu kapan kita bisa menggunakan Bahasa Indonesia sesuai kaidah dan tempatnya. Misal, di acara formal, kita pakai bahasa yang baku dan formal, tapi kalau sama teman boleh aja pakai bahasa yang kurang baku tanpa mengurangi nilai Bahasa Indonesia itu. Mencampur bahasa itu salah satu contoh kecil yang bisa mengurangi nilai juga sih.”

  1. Utamakan Bahasa Indonesia
    Selalu menjadikan bahasa ibu kita sebagai bahasa utama yang kita gunakan sesuai dengan kaidah dan tempatnya.
  2. Lestarikan bahasa daerah
    Tidak melupakan semua bahasa daerah yang ada di Indonesia, karena menggunakan bahasa daerah tidak hanya dapat melestarikannya tapi juga membentuk identitas diri kita dalam semangat “Bhinneka Tunggal Ika.”
  3. Kuasai bahasa asing
    Memiliki niatan dan keinginan untuk menyebarkan apa yang ada di Indonesia dengan cara mengetahui bahasa yang biasa digunakan oleh masyarakat di luar Indonesia.